10 Tahun Lalu, Aku Membaca Flip Flop — dan Masih Terbayang Sampai Sekarang

Sudah lebih dari satu dekade sejak pertama kali aku membaca novel Flip Flop. Waktu itu, aku belum lama lulus kuliah, usia yang pas untuk memahami dan merasakan tiap emosi yang dihadirkan Rido Arbain dan Ratna Rara lewat kisah Anggun dan Bobby. Sekarang, sepuluh tahun berlalu, aku iseng membuka kembali halaman-halaman novel itu, dan ternyata, ingatanku tentang ceritanya masih melekat dengan cukup kuat. Tanda bahwa Flip Flop bukan novel yang mudah dilupakan.

Saat pertama membacanya, aku tidak menyangka akan begitu terikat dengan kisahnya. Flip Flop adalah jenis novel tinlit—atau teen literature—yang mengangkat cerita cinta khas anak muda, dengan latar masa SMA sampai kuliah, dan bumbu drama keluarga yang bikin hangat di dada.

Judulnya mungkin terdengar lucu atau ringan, tapi isi ceritanya cukup dalam. Bukan sekadar tentang cinta, tapi juga tentang jarak, komitmen, dan pilihan-pilihan yang harus diambil saat kita tumbuh dewasa. Tema utamanya adalah hubungan jarak jauh atau LDR—sebuah tema yang saat itu sangat relate dengan banyak teman di sekelilingku, termasuk diriku sendiri.

Dua Tokoh, Dua Kota, Satu Rasa Rindu

Anggun dan Bobby, dua tokoh utama dalam Flip Flop, menjalani hubungan LDR antara Jakarta dan Malang. Sebuah jarak yang sebenarnya masih bisa ditempuh dalam satu hari perjalanan, tapi tetap saja menghadirkan tantangan tersendiri. Apalagi di usia mereka yang masih muda, dengan ego yang sedang tumbuh-tumbuhnya.

Tapi Flip Flop tidak berhenti di situ. Di dalamnya, ada lapisan cerita lain yang membuat konflik jadi lebih kompleks. Salah satunya adalah kehadiran Steven—seseorang yang datang dari dunia luar, tepatnya dari Inggris. Ia bukan hanya sekadar orang baru, tapi juga milik orang lain. Tepatnya, pacar sahabat Anggun yang sedang kuliah di Inggris.

Dan seperti bisa ditebak, Steven mengguncang stabilitas emosi Anggun. Dia mulai mempertanyakan hubungannya dengan Bobby, mempertanyakan dirinya sendiri, dan bahkan mempertanyakan arti cinta yang selama ini dia yakini.

Sebagai pembaca waktu itu, aku bisa merasakan kebimbangan Anggun. Rasanya familiar. Di usia dua puluhan, siapa sih yang nggak pernah mengalami masa ragu seperti itu? Masa di mana kita belum benar-benar tahu apa yang kita cari, tapi sudah dituntut untuk memilih dan bertahan.

Dua Penulis, Dua Suara, Satu Cerita

Yang membuat novel ini cukup unik adalah teknik penceritaannya. Rido Arbain dan Ratna Rara memilih menggunakan sudut pandang orang pertama, tetapi secara bergantian. Setiap bab menampilkan "aku" yang berbeda: kadang Bobby, kadang Anggun. Transisi ini membuat pembaca jadi benar-benar masuk ke dalam isi kepala masing-masing tokoh.

Awalnya memang agak membingungkan. Karena semua ditulis dalam bentuk "aku", kadang aku sendiri harus berhenti sejenak untuk memastikan: ini Bobby atau Anggun? Tapi setelah terbiasa, aku mulai menikmati. Justru dari situ letak daya tariknya—membaca dua versi dari satu hubungan.

Yang lucu, aku ingat salah satu petunjuk yang aku gunakan untuk membedakan mereka adalah ketika narator bilang ingin diet. Nah, itu pasti Anggun.

Bisa dibilang, Flip Flop berhasil mengangkat dua sudut pandang cinta yang sama-sama jujur. Bobby dengan logika dan kegamangannya sebagai laki-laki muda, Anggun dengan sensitifitas dan gejolak batinnya sebagai perempuan yang sedang belajar mencintai diri sendiri, sekaligus orang lain.

Detail yang Membekas

Selain tokoh dan cerita, ada beberapa hal lain yang masih aku ingat dan ternyata membekas. Misalnya, setting yang digambarkan cukup detail—baik itu suasana kampus, tempat makan, atau momen-momen kecil seperti obrolan ringan di telepon atau pesan yang tak kunjung dibalas. Semua terasa nyata. Mungkin karena aku membacanya di masa yang hampir serupa, jadi ada semacam cermin yang memantulkan pengalaman pribadi.

Satu hal yang agak mengganggu waktu itu adalah penggunaan bahasa Inggris di beberapa bagian. Jujur saja, aku termasuk yang kurang pede dengan bacaan berbahasa asing. Jadi saat kalimat-kalimat itu muncul, aku cenderung melewatkannya. Tapi untungnya, hal ini tidak mengganggu pemahaman keseluruhan cerita.

Dan jangan lupakan karakter Sulung, kakaknya Anggun. Sosok kakak laki-laki yang dewasa, perhatian, tapi tetap menyebalkan dalam cara yang menggemaskan. Tokoh ini entah kenapa cukup membekas di benakku. Mungkin karena aku sendiri punya kakak laki-laki, dan novel ini berhasil memunculkan rasa kangen yang nggak terduga.

Bacaan Ringan yang Punya Bekas Panjang

Hari ini, saat aku mengenang kembali Flip Flop, aku sadar bahwa ada novel-novel yang mungkin tidak terlalu spektakuler secara teknis, tapi berhasil menyentuh sesuatu di dalam diri pembacanya. Dan Flip Flop adalah salah satunya.

Aku bahkan masih ingat bagaimana aku merekomendasikan novel ini ke beberapa teman waktu itu. Salah satunya sampai akhirnya beli bareng karena budget terbatas. Kami baca bergantian, dan berdiskusi panjang soal pilihan-pilihan tokohnya. Momen sederhana yang sekarang terasa manis untuk dikenang.

Kalau kamu suka novel dengan alur ringan tapi emosional, Flip Flop layak untuk dibaca—atau dibaca ulang. Terutama kalau kamu pernah punya cerita yang mirip: cinta jarak jauh, kegalauan saat tumbuh dewasa, atau rasa kangen yang sulit dijelaskan.

Dulu, aku memberi novel ini 4 dari 5 bintang. Dan sekarang, setelah 10 tahun berlalu, nilainya tetap sama. Bahkan mungkin sedikit naik—karena selain ceritanya, sekarang aku tahu bahwa kenangan membaca buku di usia muda juga bagian penting dari tumbuh dewasa.

Jadi, terima kasih Flip Flop, sudah jadi bagian kecil dari masa mudaku yang tak ingin kulupakan.


Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca halaman ini. Jika kamu merasa informasi di blog ini bermanfaat, jangan ragu untuk menjelajahi artikel lainnya—siapa tahu, ada topik lain yang juga relevan dan menarik untukmu.
Hadi

Halo, saya Hadi. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini. Jangan lupa tinggalkan jejak, agar saya dapat mengunjungimu balik.

Posting Komentar

Saya menghargai setiap komentar yang kamu berikan. Maka jangan pernah sungkan untuk meninggalkan komentarmu. Untuk kepentingan bisnis, silakan hubungi saya via email di wawantjara@gmail.com

Salam!

Lebih baru Lebih lama