Kalau kamu belum pernah baca tulisan Haris Firmansyah, yaa… kamu bisa dibilang belum lengkap jadi warga dunia literasi nyeleneh. Soalnya tulisan Haris itu nggak biasa. Dia bukan tipe penulis yang main aman, bikin tulisan ala quotes IG yang penuh embun pagi atau drama percintaan yang bikin mellow. Nggak, bro. Tulisan Haris itu kayak batik: penuh pola, warna, dan kadang bikin kita mikir, "Ini orang ngambil ide dari mana, sih?"
Kalau saya disuruh mendeskripsikan gaya tulisannya Haris, mungkin cuma dua kata: unik dan beragam. Uniknya, karena dia bisa mikir dari sudut paling nggak umum. Sudut yang mungkin kamu bahkan nggak tahu itu bisa dijadikan sudut. Tapi Haris bisa. Dan beragamnya? Karena dia bisa bikin topik yang kelihatannya serius, kaku, atau bahkan biasa aja—jadi sesuatu yang absurd, lucu, dan kadang bikin kita ketawa sambil mikir.
Contohnya? Coba aja baca status Facebook-nya yang satu ini:
“The Voice. Ajang pencarian bakat pakai sistem blind audition. Peserta nyanyi, juri nggak lihat mukanya. Cuma fokus ke suara. Harusnya ada tandingannya, The Face. Peserta nyanyi, juri pakai ear plug. Suara nggak dinilai, yang penting gayanya…”
Bayangin aja, dia bisa ngolah konsep audisi jadi sesuatu yang jenaka, lengkap dengan sentilan sosial tipis-tipis. Dan ini bukan cuma sekali dua kali. Haris kayak punya radar yang bisa nemuin sisi lucu dari hal-hal kecil di sekitar kita. Kadang kita bahkan nggak nyadar hal itu ada—tapi Haris sudah bikin satu paragraf lucu tentangnya.
Menulis Itu Nggak Harus Melankolis
Saya dulu mikir kalau mau jadi penulis, tulisannya harus yang puitis, penuh metafora tentang hujan, luka lama, atau bayangan masa lalu. Harus banyak konflik, intrik cinta, dan kata-kata indah yang bikin pembaca meleleh. Tapi setelah baca tulisan Haris, pikiran saya pelan-pelan berubah. Oh, ternyata menulis juga bisa seru, santai, kocak, tapi tetap ngena.
Tulisan-tulisan Haris membuka pintu buat banyak orang yang tadinya nggak berani nulis karena mikir, “Ah, tulisan gue nggak sebagus penulis terkenal.” Tapi Haris buktiin bahwa gaya menulis itu bebas. Nggak harus melankolis, nggak harus rumit, apalagi sok puitis. Yang penting: jujur dan punya sudut pandang sendiri.
Dari Facebook ke Buku Cetak
Sebelum punya blog, Haris sering nulis di notes Facebook. Iya, fitur lawas yang sekarang mungkin udah dilupain orang. Tapi waktu itu, Haris konsisten nulis di sana. Dan salah satu catatannya yang paling saya ingat adalah soal iklan mie instan yang viral banget: "UDAAAAH, MAKAN DULU SAAA NAAA!"
Yang lain mungkin cuma nonton iklannya, ketawa dikit, lalu lupa. Tapi Haris? Dia jadikan iklan itu bahan buat nulis satu cerita pendek. Dan itu yang bikin dia beda. Mata dan pikirannya kayak punya filter khusus yang bisa nemuin keunikan di tengah hal yang biasa.
Nggak heran, dari hobi nulis di Facebook, Haris akhirnya nulis naskah lengkap… lewat ponsel! Bayangin, ketika kita sibuk scrolling TikTok dan nulis caption IG doang, Haris udah nulis satu buku penuh di layar 5 inci. Dan itu beneran diterbitkan jadi buku cetak, dijual di toko buku nasional, bahkan dapet royalti.
Hebat? Iya. Tapi juga inspiratif banget. Ini bukti kalau keterbatasan alat bukan alasan buat berhenti berkarya.
Dari Nulis Buku ke Job Review
Bakat Haris nggak cuma bikin dia produktif nulis buku, tapi juga bikin brand-brand kepincut. Baru juga ngeblog sebentar, dia udah diajak kerja sama sama situs finansial ternama buat review produk mereka. Ini prestasi yang luar biasa, apalagi buat blogger pemula. Tapi ya itu tadi, Haris nggak pernah setengah-setengah kalau bikin sesuatu. Dan brand pun bisa ngelihat itu.
Haris adalah contoh bahwa konsistensi dan orisinalitas bisa bawa kamu ke mana aja. Mau kamu mulai dari notes Facebook kek, dari blog gratisan, atau cuma lewat status-status absurd, asal kamu konsisten dan punya karakter, pasti ada jalan.
Kesimpulan: Haris Bukan Cuma Nama, Tapi Inspirasi
Haris Firmansyah adalah contoh nyata bahwa kamu bisa jadi apapun yang kamu mau, asal kamu konsisten, pede sama gayamu sendiri, dan punya semangat buat terus berkembang. Dia nulis nggak pake laptop mahal, nggak pake studio, bahkan awalnya cuma lewat notes Facebook. Tapi lihat sekarang—dia punya buku cetak, job kerja sama, dan pengaruh yang positif buat para penulis muda.
Dan hey, kalau kamu sempat baca biodata nyentriknya, kamu pasti senyum-senyum sendiri. Haris lahir seukuran centong nasi, katanya. Tapi ide-idenya? Sebesar jagat medsos. Jadi, nggak ada alasan buat kamu malas berkarya, ya.
Yuk, jaga semangat, jaga kesehatan, dan tetap jadi diri sendiri. Karena di dunia yang isinya konten seragam, tulisan nyeleneh kayak Haris bisa jadi warna yang kamu butuhkan.
Hai, nama saya Haris Firmansyah. Saya lahir 13 Mei 1992. Sewaktu emak ngelahirin saya, saya kelilit usus. Emak gak bisa melahirkan secara normal. Akhirnya, caesar. Tapi sejak itu, keluarga saya kelilit hutang. Karena biaya lahiran mahal, apalagi caesar. Bohong deng. Saya lahir di dukun beranak di kampung. Soalnya nggak sempet dibawa ke bidan. Nggak sempet kepikiran oleh orangtua saya. Ya anak-anak kampung yang lain juga lahirinnya pake dukun beranak. Sewaktu baru lahir, kata emak, saya cuma seukuran centong nasi. Matanya sipit, kulitnya putih. Tetangga pada ngatain saya, "anak china". Untungnya, sekarang udah iteman. Walaupun matanya tetep nggak belo-belo amat.
Yaudah, gitu aja. *Nyengir